Mahameru

Puncak Mahameru

Tiga ribu enam ratus tujuh puluh enam meter di atas permukaan laut. Angin berlari menerpa wajahku. Perantara antara gelap dan pagi menyambut para pendaki dengan dingin namun tetap hangat di satu bilik kalbu. Entahlah. Tubuhku memang  letih namun mataku berbinar. Kedua kakiku bergetar sendu. Semakin surya naik semakin jelas kulihat gumul awan-awan yang mencumbui horison. Indah tak bersyarat.

Akhirnya. Inilah tempat tertinggi di atas tanah Jawa, berdiri kokoh puncak abadi para dewa. Mahameru. Gunung dengan hiasan mitos dan cerita. Dari babak akhir Mahabharata, sampai tentang akhir kisah seorang tokoh pergerakan. Dari Pandawa sampai Soe Hok Gie. Tentang pendakian suci Pandawa dan Draupadi sampai sosok Soe Hok Gie yang tak menyerah pada kemunafikan.

Kebersihan hati Yudhistira. Hembusan nafas terakhir Gie. Di sini, di tahun 1969. Soe Hok Gie, tokoh yang menginspirasi banyak orang untuk mendaki Mahameru, tak terkecuali aku. Kulihat kawan-kawan seperjuanganku. Pemandangan dan suasana yang sukar kulukiskan. Bahkan mungkin bagi pelukis berbakat sekalipun.

***

26 September 2012

Kami mengurus keperluan yang utama dan harus dipenuhi. Surat keterangan sehat. Hal ini mutlak diperlukan untuk persyaratan pendakian di Mahameru. Kami berlima adalah mahasiswa perantau, berkuliah di perguruan tinggi plat merah di sekitar Jurangmangu. Didi dari Makassar dengan epik La Galigo-nya, Geri dari Lampung dengan Nuwo Sesat-nya, Salman dari Bukittinggi dengan jam Gadang-nya, Shofi yang tumbuh berkembang di Probolinggo dengan mangganya yang tak populer , dan aku dari Jember dengan slogannya ‘Terbina’. Sekitar jam 9-10, aku, Geri, dan Didi pergi mencari puskesmas terdekat. Shofi dan Salman menyusul. Sebelumnya kami mengurus logistik.

“Gua lupa-lupa inget tempatnya. Satu dua tahun yang lalu pernah ke sana.” kata Didi.

“Oke kita ikut Lo aja Di!” balas Geri.

Aku dan Geri berjalan di belakang Didi. Akhirnya kami sampai di depan kantornya. Kami bergegas masuk. Kami harus bergerak cepat karena kereta kami menuju Malang berangkat pukul 14.00. Suasana di dalam agak di luar bayangan kami. Tempatnya sepi, bau obat-obatan bahkan tidak menguar, hanya beberapa petugas berpakaian dinas hijau pucat  yang terlihat menyambut kami.

“Mau foto KTP dik?” sambut salah satu petugas.

“Enggak Pak, kami pengen bikin surat keterangan sehat.” tukas Geri bingung  mengantisipasi pertanyaan ini. Tak ada yang menduga ada kaitannya dengan foto KTP.

“Surat keterangan sehat? Mungkin disuruh foto KTP Dik. Coba dicek lagi.” petugas itu tampak sama bingungnya dengan kami.

“Bukan Pak, yakinlah sumpah. Kami butuh surat keterangan sehat sebagai syarat mendaki gunung.” Geri memberi ulasan ringkas. Wajah petugas itu semakin runyam, bingung sampai ubun. Kemudian beliau berujar penuh keraguan,”Hmm, aduh Dik saya kurang ngerti, coba ke ruangan sebelah. Mungkin mereka tau.”

Kami menurut, menuju ruangan sebelah. Kali ini wanita berjilbab yang menyambut kami. Sebagai duta humas Geri bertanya,”Mbak di sini gimana caranya bikin surat keterangan sehat?”

Wajah bersinar wanita itu langsut kisut mendengar pertanyaan Geri,”Surat keterangan sehat?”

“Iya mbak!” sahut kami bertiga mantap.

“Hmm, maksud kalian surat keterangan miskin?”

Petir guntur imajiner bergemuruh di alam khayal kami, syok dengan pertanyaan tak dinyana ini. ‘Ngapain sampe ke surat keterangan miskin segala sih? Apa karena pakaian kami? Paras kami? ’ pikirku penuh tanya.

Suasana memang agak aneh, jam dindingnya, mejanya, dan surat-surat di atas meja petugasnya. Kulihat lebih dekat surat-surat itu, kubaca kepala suratnya. Pantas saja. Ternyata begitu, ini menjelaskan segala keanehan. Misteri yang begitu membingungkan ini akhirnya terpecahkan. Sebelum jatuh pada ketololan yang lebih dalam, kupaksa Geri dan Didi meninggalkan kantor itu. Sesampainya di luar kuedarkan pandangan mencari papan nama.

“Asem! Liat cuy! Baca tuh!” aku menunjuk papan nama kantor ini.

“KANTOR KELURAHAN JURANGMANGU TIMUR.”

Ekspresi kami bertiga pasti tololnya sudah stadium akhir. Kami mengedarkan pandangan sekali lagi,“Nah, itu baru puskesmas.”

Tak jauh dari kelurahan yang kami pikir puskesmas tersebut terdapat bangunan yang merupakan puskesmas yang sesungguhnya. Letak kelurahan dan puskesmas berdekatan dan kami salah alamat. Sekarang aku bisa memahami perasaan Ayu Ting-Ting.

***

27 September 2012

Deru menggebu rel besi bertemu roda kereta yang bising akhirnya terhenti. Perjalanan dengan kereta dari Stasiun Senen pukul 14.05 akhirnya berakhir. Kami tiba di Stasiun Kotabaru Malang pukul 07.55. Di sana kami bertemu rombongan dari Mountain Peace Adventure yang diketuai Bang Sahat. Mereka memakai jaket biru dengan tulisan Rinjani 3726 mdpl. Kelompok ini ternyata sudah mendaki Gunung Rinjani. Kami juga bertemu dua orang dari Semarang. Tujuan kami sejalan, Mahameru.

Kami mengurus fotokopi identitas sebelum menyewa angkot ke Pasar Tumpang. Kesepakatan akhirnya dicapai, 12,5 ribu per orang. Lima kelompok kami ditambah 9 anggota Mountain Peace Adventure dan 2 orang Semarang. Total 16 anggota. Pukul 8.30 kami berangkat.

Perjalanan memakan waktu satu jam. Pasar Tumpang.  Suasana pasar tradisional seperti ini lama tak kujumpai. Kios penjual daging sapi, pedagang sayuran, penjual bawang dan berbagai toko bergabung mencitakan aroma khas. Aku menikmatinya. Di sana kami disambut beberapa orang yang sudah mafhum dengan kebutuhan pendaki. Mereka menawari perjalanan menuju Ranu Pane dari Tumpang menggunakan truk milik Haji Rus. Di pasar Tumpang kami membeli gas dan memastikan keperluan administrasi sudah beres.

Pukul 11.15 kami berangkat menuju Ranu Pane. Perjalanan diwarnai pemandangan mulai dari rumah-rumah sampai suasana pepohonan di kanan kiri. Pada beberapa titik tertentu kami disuguhi pemandangan indah punggung bukit-bukit yang terhubung ke Bromo. Hal ini menandakan kami sedang memasuki kawasan Semeru-Bromo Tengger. Cool.

Pukul 13.00 sampai Ranu Pane. Salman mengurus administrasi pada pos keberangkatan. Aku melihat-lihat sekeliling. Ada kertas berisi sebuah daftar yang menarik minatku. Kubaca,”Daftar korban.” Aku menelan ludah. Lalu disertai adegan seperti di film horor di mana tokohnya berjalan perlahan menanti kejutan yang akan ditemuinya. Daftar yang tercatat di sana dimulai pada tahun 1969. Korban pertama adalah Suhoghi dan Idhan Lubis. Dua-duanya meninggal. Penyebab: keracunan gas di puncak. Awalnya sedikit bingung dengan nama pertama, namun nama kedua meyakinkanku bahwa Suhoghi yang dimaksud adalah Soe Hok Gie, tokoh pergerakan itu. Bulu kudukku berdiri.  Ditambah lagi terdapat juga 2 korban meninggal dari tempatku berasal, Jember. Seakan tombol pertahanan diri diaktifkan, otomatis kupanjatkan berbagai doa. Dari doa sebelum makan hingga ayat kursi. Kulumat tuntas.

Pos Ranu Pane

Kami menyelesaikan segala yang diperlukan. Makan, sholat, dan sejenisnya hingga pukul 14.23. Kami berangkat. Sampai Pos 1 pukul 15.23. Pos 2 pukul 15.55. Pos 3 pukul 17.04. Di pos 4 kami tidak berhenti, langsung sekalian Ranu Kumbolo. Sampai di Ranu Kumbolo pukul 18.15. Keindahannya belum begitu tampak karena gelap sudah turun.  Kami membangun tenda, memasak, dan pada pukul 20.47 sudah bersiap tidur. Malam di Ranu Kumbolo terasa dingin. Bagiku, ini malam terdingin dalam hidup, so far. Karena aku lupa membawa sleeping bag. Malam itu, entah siapa yang ada di dekatku, kupeluk erat. Tak peduli.

28 September 2012

Pagi menyingsing, fajar terbit. Matahari muncul dari tengah bukit di ujung Ranu Kumbolo. Kami berebut keluar . Masing-masing berebut mengabadikan diri bersama pagi di Ranu Kumbolo. Yang paling beruntung adalah Shofi, refleksi sempurna bukit pada permukaan Ranu Kumbolo berhasil ditangkap kamera milik Geri. Yang lain tak sesempurna miliknya, terganggu angin yang mengepul dan berjalan ke tengah menimbulkan riak-riak yang mengusik cermin sempurna di permukaan Ranu Kumbolo.

Di antara rumput-rumput Ranu Kumbolo kulihat berbagai memoriam. Sebuah keniscayaan perjuangan para pendaki yang patut mendapat apresiasi. Sebuah pecut sebagai pengingat akan kematian bagi mereka yang belum bertakdir dengannya. Sekedar doa kecil kupanjatkan tanpa suara. Pendaki-pendaki itu mangkat dengan menyodorkan setangkup haru kepada ranu ini.

Ranu Kumbolo dilihat dari atas tanjakan cinta

Tak lama kami berdiam di sini. Pukul 8.20 bersiap berangkat. Saat itu ada satu kelompok pendaki dari Surabaya yang mengatakan ada kebakaran di pos Arcopodo dan beberapa titik api di pos Kalimati. Hal ini sedikit menggetarkan tekad kami, namun kami tetap berangkat. Kami akan menilai situasinya sambil jalan. Bersiap mendaki tanjakan kasih sayang. Tanjakan Cinta.

Konon, bagi siapa saja yang mampu melewati tanjakan ini dengan memikirkan seseorang yang ia sayang tanpa berhenti dan menoleh sedikitpun maka cintanya akan terkabulkan. Sebuah mitos, entah dari mana asalnya. Kami menanggapinya santai, hanya untuk bersenang-senang.Tak ada yang berhasil. Mungkin membawa carrier yang berat adalah masalah utamanya. Atau kami yang terlalu skeptis setelah mengetahui ternyata cinta tak hanya satu rasa. Manis ada, tapi pahit mungkin lebih banyak dicicipi. Kami enggan hanya untuk sekedar menaruh asa. Apalagi pada mitos. Atau justru sebaliknya?

Sesampainya di puncak tanjakan kami disuguhi pemandangan Oro-Oro Ombo. Padang luas berhiaskan ilalang dan lavender. Kemarau mengeringkan sebagian besar ilalang dan lavender. Suasana kering namun menimbulkan kesan syahdu. Kami bergegas menuruni bukit menuju Oro-Oro Ombo kemudian mengambil banyak gambar. Mendadak kami adalah supermodel, meliuk-liuk di antara tingginya ilalang sambil menunggu jepretan kamera mengambil paras terbaik yang nantinya bisa kami pamerkan pada dunia (baca: Facebook).

Oro-Oro Ombo menuju Cemoro Kandang

Dari Oro-Oro Ombo kami menuju Cemoro Kandang. Dari lahan kering kini kami dikelilingi banyak pohon cemara. Berjajar seperti sebuah kerangkeng besar. Kami berhenti mengambil napas lebih panjang sebelum meneruskan perjalanan menuju Jambangan. Setelah cukup beristirahat kami berangkat.

Pukul 11.30 kami mencapai pos Jambangan. Suasana di sini berbeda. Ada kesan seakan kita melintasi suatu gerbang. Aroma mistis juga agak menarik-narik. Entah, mungkin hanya perasaanku saja. Pada pos ini akhirnya dapat ditemui Edelweiss. Kita disuguhi dengan eksotisme perpaduan rerumputan kering panjang dan beberapa pepohonan. Di antara mereka tumbuh liar Edelweiss yang indah.Ironinya bahwa di balik keindahannya, ternyata Edelweiss adalah jelmaan putri yang dikutuk. Mitos. Tapi tak kupungkiri ada rasa haru saat memandanginya.

Edelweiss di Kalimati

burung di Jambangan

Beberapa menit kami beristirahat tiba-tiba kami dikejutkan oleh seseorang yang menembus Jambangan dengan berlari tanpa membawa beban di punggungnya. Hanya botol kosong di satu tangannya. Orang itu ternyata anggota pendaki dari Surabaya tadi. Awalnya kami curiga ada masalah di Kalimati.

Salman bertanya,”Ada apa mbak? Kok lari-lari?”

Sambil terengah ia menjawab,”Oh nggak apa-apa Mas, ini cuma lomba.”

Benar saja, di belakangnya kemudian menyusul satu per satu. Lomba yang aneh, tentu saja bagi kami. Kami meneruskan perjalanan menuju Kalimati dengan perasaan heran.  Pukul 12.00 kami sampai di pos Kalimati. Kami siapkan tenda, kami bermalam di sini sebelum summit attack. Salman, Geri dan Didi ke Sumber Mani, sumber air. Aku dan Shofi berjaga. Kami beristirahat di sini sampai pukul 23.40. Tinggal Arcopodo, Cemoro Tunggal, dan terakhir puncak Mahameru.

29 September 2012

Angin malam Kalimati tidak sedingin di Ranu Kumbolo namun tetap dingin. Langit begitu indah, bulan sedang tak malu menampakkan hampir semua bagian dirinya. Dipimpin oleh Salman kami berangkat. Jalur pendakian semakin terjal, skala kesulitannya meningkat tajam dengan perjalanan sebelumnya.

Pukul 00.57 kami mencapai pos Arcopodo. Di sini kami bertemu dengan Pak Cahyo. Cahyo Purwanto. Beliau adalah pegawai kantoran yang sangat mencintai alam. Beliau bercerita bahwa ini adalah ketujuh kalinya mencapai pos Arcopodo. Dari tujuh usahanya menuju puncak, enamnya gagal. Jadi percobaan yang ketujuhnya ini beliau sangat berharap mampu summit. Beliau mempunyai masalah pada otot perut.

Di sini juga kami mendengar kabar bahwa ada dua pendaki dari Semarang yang menghilang ketika mencari air di Sumber Mani. Mendengar kabar ini perasaan kami campur aduk. Jangan-jangan dua orang yang berangkat bersama kami dari pasar Tumpang. Namun kami berusaha tidak memikirkannya.

Beberapa puluh menit dari Arcopodo kami melihat batas vegetasi Mahameru. Pos ini dinamakan Cemoro Tunggal. Setelah ini medan yang kami hadapi adalah pasir dan bebatuan. Di sinilah ungkapan ‘maju tiga langkah mundur satu langkah’ berlaku. Kami harus berhati-hati karena tidak semua batu bisa digunakan sebagai pijakan. Sepertinya inilah kulminasi pendakian Mahameru. Medan terberatnya.

Di tengah perjalanan ada beberapa kejadian. Ketika aku merangkak ke atas, batu di bawahku ternyata melorot. Menggelinding ke arah Didi. Batunya tidak terlalu besar namun juga tidak kecil. Lumayan seandainya menghantam. Respon Didi terhadap bahaya patut diacungi jari tengah. Jempol.

Ia berteriak,”Awas ada batu!” Tangannya sigap menahan batu itu meluncur lebih jauh ke bawah.

Selangkah demi selangkah kami tapaki. Kaki ini rasanya sudah tidak kuat lagi. Namun ketika segaris cahaya kemerahan mulai tampak, semangat yang tenggelam itu kembali muncul ke permukaan. Produksi adrenalin seketika meningkat. Janji sunrise luar biasa telah menisbikan rintihan tubuh dan kaki ini.

“Ayo Mas, puncaknya sudah dekat!” seru pendaki di depan kami.

Kalimat seperti ini yang memacu semangat kami dua kali lebih naik. Lebih dari lima jam perjalanan menuju puncak dari Kalimati. Pukul 05.15 akhirnya berhasil mencapai puncak disusul Salman. Sungguh sensasi yang luar biasa. Semua terbayar. Kulihat mega kemerahan, dataran tertinggi di pulau Jawa. Saat itu di belakangku kudengar takbir.

“Allahu Akbar!”

Aku menoleh, melihat Pak Cahyo sedang melakukan sujud syukur. Akhirnya percobaan ketujuhnya membuahkan hasil. Kulihat dua orang sedang melakukan sholat Shubuh. Tanpa pikir panjang aku ikut bergabung. Di saat salam kubiarkan mataku terpejam sesaat, menikmati euforia. Kawah Jonggring Soloko bergemuruh, membumbungkan kepulan asap. Lalu berturut-turut, Didi, Shofi dan Geri menyusul. Kami berlima berhasil mencapai puncak. Kami adalah Yudhistira yang terbagi lima.

asap dari kawah Jonggring Saloko

Di tengah euforia ini aku mencari tokoh inspiratorku, Soe Hok Gie. Di bagian tengah kutemukan in memoriam Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. Satu perkataan Gie yang tak akan pernah kulupa,”Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”

memoriam Gie dan Idhan

***

Tiga ribu enam ratus tujuh puluh enam meter di atas permukaan laut. Angin berlari menerpa wajahku. Perantara antara gelap dan pagi menyambut para pendaki dengan dingin namun tetap hangat di satu bilik kalbu. Entahlah. Tubuhku memang  letih namun mataku berbinar. Kedua kakiku bergetar sendu. Semakin surya naik semakin jelas kulihat gumul awan-awan yang mencumbui horison. Indah tanpa ada syarat.

kami berlima, 3676 mdpl

Sunrise di 3676 mdpl

(Catatan: dua pendaki yang sempat hilang akhirnya ditemukan. Kami bertemu mereka ketika perjalanan turun. Ternyata memang dua orang yang bersama kami. Ketika perjalanan turun, di pos Ranu Pane kami juga bertemu dengan seseorang dengan perban di kepalanya. Terkena batu yang menggelinding.)